MUI Ajak Warga Saling Bertoleransi Dalam Merayakan Hari Besar Keagamaan

Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh (Tangkapan Layar Youtube)

FaktaNews.Net  – Dalam merayakan hari besar keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengajak masyarakat di Indonesia untuk merayakan hari besar keagamaan apapun dengan saling bertoleransi.

Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh mengatakan salah satu bentuk toleransi dalam merayakan hari besar keagamaan dengan mensyukuri dan menikmati hari besar keagamaan yang menjadi hari libur nasional, yang manfaatnya dirasakan seluruh masyarakat meskipun tidak menjadi bagian dari agama yang merayakan.

“Yang pasti, sekarang faktanya (hari besar keagamaan) jadi hari libur nasional, kita (Muslim) juga menikmati liburnya kan? Demikian juga yang non-Muslim pada saat libur Idul Fitri juga mereka menikmati liburnya,” ujarnya,  Kamis ( 9 Mei 2024).

Begitu pula saat umat Muslim menjalankan ibadah puasa, lanjutnya, banyak dari saudara yang berbeda agama juga turut mengikuti acara buka puasa bersama dan menikmati aneka takjil yang khas hanya ada di Bulan Ramadhan.

Niam menilai hal tersebut merupakan bentuk toleransi yang diwujudkan dalam bentuk saling mengambil manfaat dan saling mendukung antara satu dengan yang lainnya.

“Prinsip Islam dalam membangun agama masing-masing adalah lakum diinukum waliyadiin, bagimu agamamu, bagiku agamaku. Tidak mengganggu pelaksanaan ibadah yang dilaksanakan agama lain, bahkan kita memfasilitasi,” terangnya.

Bertoleransi dalam menikmati hari libur keagamaan, menurut Niam, merupakan dimensi sosial yang bersifat inklusif, sehingga siapapun dipersilakan untuk menikmati hari libur nasional yang berkenaan dengan hari besar agama lain.

“Adapun toleransi yang tidak dibenarkan, adalah toleransi dengan merayakan ibadah dalam bentuk ritual, seperti halnya ibadah shalat dalam agama Islam, serta misa dalam agama Katolik/Kristen, karena merupakan dogma atau ajaran yang bersifat eksklusif,” tandas Niam.

Sehingga, lanjut Niam, toleransi antarumat beragama tidak diwujudkan dalam bentuk sinkretisme antara satu keyakinan dengan yang lainnya.

“Makanya, harus ada proporsionalitas dalam memaknai toleransi yang hakiki dalam memaknai kebebasan terhadap agama lain,” pungkas Asrorun Niam Sholeh.

(Her)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *