FaktaNews.Net | Denpasar – Favoritisme sekolah yang masih membudaya disebut menjadi akar kekacuan pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Padahal kebijakan PPDB bertujuan untuk menciptakan keadilan dalam dunia pendidikan dan menghapus favoritisme sekolah.
Pengamat Pendidikan Agus Siswadi mengatakan favoritisme sekolah masih bertahan karena persepsi masyarakat tentang kualitas pendidikan yang tidak merata.
Ia mengatakan banyak orang tua percaya bahwa hanya beberapa sekolah yang memiliki kualitas pengajaran, fasilitas, dan rekam jejak prestasi yang baik, sehingga orangtua siswa akan berusaha keras untuk memasukkan anak-anaknya pada ke sekolah tersebut.
Hal ini diperparah oleh peringkat sekolah yang sering dipublikasikan dan diperbincangkan di masyarakat, yang mendukung narasi bahwa hanya sekolah favorit yang mampu memberikan pendidikan berkualitas.
Agus Siswadi mengatakan favoritisme sekolah ini telah menghadirkan kecurangan dalam PPDB, seperti pemalsuan alamat untuk memanfaatkan sistem zonasi atau bahkan suap untuk mendapatkan tempat di sekolah favorit.
Ia pun berkata sejak diterapkan sampai saat ini PPDB belum berhasil menghilangkan favoritisme sekolah karena implementasi kebijakan yang kurang optimal dan sering kali tidak konsisten.
“Misalnya, sistem zonasi yang diperkenalkan untuk mengurangi favoritisme sering kali tidak berjalan efektif karena berbagai alasan, termasuk penentuan zona yang tidak akurat atau ketidakmampuan sekolah non-favorit untuk menarik minat calon siswa,” terangnya.
Lebih jauh lagi tambahnya, tidak semua sekolah memiliki kapasitas dan sumber daya yang sama untuk meningkatkan mutu pendidikanya. Sekolah-sekolah favorit sering kali menerima lebih banyak perhatian dan bantuan, baik dari pemerintah maupun pihak swasta, yang membuat sekolah tersebut semakin maju dan menjadi pilihan utama.
“Sebaliknya, sekolah yang tidak favorit sering kali kekurangan sumber daya dan dukungan, membuat sekolah tersebut kesulitan untuk meningkatkan kualitas,” terangnya.
Oleh karenanya, untuk mengatasi favoritisme sekolah, diperlukan langkah-langkah konkret yang lebih dari sekadar kebijakan formal. Penguatan dan pemerataan kualitas pendidikan harus menjadi fokus utama, dengan penekanan pada peningkatan fasilitas, pelatihan guru, dan pengembangan kurikulum di seluruh sekolah, bukan hanya yang dianggap favorit.
Perlu ada upaya lebih dalam membangun kesadaran masyarakat bahwa semua sekolah memiliki potensi untuk memberikan pendidikan berkualitas jika diberi kesempatan yang setara.
Selain itu, penting juga untuk memperbaiki sistem evaluasi sekolah sehingga lebih banyak aspek yang dinilai selain prestasi akademik. Sehingga, setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa harus tergantung pada status atau popularitas sekolah.
(AP/Ans)