Oleh; Mayor Jenderal TNI (Purn) Dr. Saurip Kadi.
FaktaNews.Net | Jakarta – Tulisan serial kedua ini disusun untuk melengkapi penjelasan materi sub-judul “Penerapan Paham Kenegaraan dan Kebangsaan yang Invalid” pada tulisan yang pertama yang berjudul “NKRI BELUM MEWUJUD SEBAGAI WADAH DAN ALAT BERSAMA BAGI SEGENAP ANAK BANGSA” yang diterbitkan dalam rangka menyambut HUT RI ke 79. Bahwa belenggu realitas yang selama ini memasung NKRI, disamping UUD kita yang memang belum ber “DNA” Pancasila disamping belum konstitutif dan asistemik, persoalan penerapan paham kenegaraan dan atau kebangsaan yang invalid dimana “Kemerdekaan NKRI Diperoleh Dengan Merebut” juga mempunyai andil besar dalam merusak jiwa bangsa.
Yang pasti, paham tersebut otomatis menempatkan Rakyat bukan sebagai “pemegang saham” atas NKRI, tapi tak lebih hanya sebagai peserta dari NKRI yang didirikan oleh sekelompok anak bangsa yang berhasil merebut kemerdekaan.
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 Adalah Bentuk Kontrak Sosial Berdirinya NKRI.
Sebagaimana yang tertulis dalam buku sejarah yang diajarkan pada semua tingkatan sekolah, bahwa kemerdekaan negara kita diperoleh dengan cara merebut. Narasi yang demikian itu tak lain hanyalah dongeng semata, karena bukanlah sejarah kalau tidak didasarkan pada fakta sosial yang membarenginya. Bagaimana mungkin kemerdekaan NKRI diperoleh dengan cara merebut, bukankah Belanda sendiri sudah 3,5 tahun sebelumnya telah meninggalkan Indonesia. Sementara itu kehadiran Jepang di bumi Nusantara oleh orang tua kita justru disambut sebagai saudara tua. Dan sekaligus dibantu, dimana anak-anak muda bangsa saat itu dijadikan “Romusha” (Kerja Paksa) dan tenaga bantuan operasil militer lainnya.Memang betul Para Pendiri Bangsa baik mereka yang kooperatif maupun tanpa berkoperatif dengan Belanda, telah berjuang menumbuhkan rasa kebangsaan yang satu dan kemudian melahirkan kehendak bersama untuk membentuk pemerintahan yang diuurus oleh bangsa nya sendiri melalui keberadaan sebuah negara (NKRI).
Dengan merujuk pada teori kontrak sosial berdirinya negara yang dikenalkan oleh John Lock dan Thomas Hubbes (Abad 17), maka rumusan sejarah yang benar dalam arti valid secara keilmuan dan sesuai fakta sosial yang tergelar saat itu, manakala kita menempatkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai “kontrak sosial” berdirinya NKRI. Kebenaran paham tersebut dapat dibuktikan dengan bangkitnya perlawanan rakyat Surabaya dan sekitarnya, ketika Tentara Sekutu mendarat di Surabaya untuk melucuti bala tetara Jepang sekaligus mengantar NICA (PNS Pemerintahan Belanda), yang kemudian diikuti perlawanan secara menyeluruh disemua wilayah NKRI terhadap Belanda.
Perubahan paham termaksud menjadi sangat mendasar, agar kedepan rakyat diposisikan sebagai pemilik “saham” atas NKRI, dan tidak lagi diposisikan sebagai penumpang atas negeri yang didirikan oleh sekolompok pejuang yang berhasil merebut kemerdekaan NKRI. Dampak ikutan dari perubahan paham tersebut juga sejalan dengan tuntutan norma dasar demokrasi, dimana rakyatlah yang bertanggung jawab atas keberadaan negara yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk kwajiban membayar Pajak dan Restribusi, untuk membiayai negara, termasuk untuk menghidupi para Penyelenggara Negara berserta keluarganya.
Rakyat Adalah Majikan Sebaliknya Penyelenggara Negara Adalah Pelayan Rakyat.
Adalah kaidah universal daam negara demokrasi dimanapun, kedudukan segenap Penyelenggara Negara dengan pangkat dan jabatan apapun, tak terkecuali Anggota TNI dan Polr,i karena menerima penghasilan dari Uang Rakyat, haruslah ditempatkan sebagai PELAYAN RAKYAT. Disisi lain, karena Rakyat yang membiayai operasional negara termasuk untuk menghidupi segenap Penyelenggara Negara berserta keluarganya, melalui Pajak dan berbagai Restribusi, maka oleh segenap Penyelenggara Negara haruslah diposisikan sebagai MAJIKAN.
Akumulasi dampak dari penerapan paham kenegaraan dan atau kebangsaan yang invalid selama ini, kini mewujud dalam bentuk hilangnya etika moral elit penyelenggara negara yang tidak lagi merasa malu apalagi bersalah, atas apa yang mereka jalani dalam keseharian. Bahkan elitnya peralahan tapi pasti berubah menjadi kaum munafik, sekaligus Penyembah Berhala (Materi, Pangkat dan atau Jabatan). Contoh tak terbantahkan dalam penggunaan biaya pengawalan Pejabat Negara. Mereka gagal dalam mengatur lalu lintas, dimana-mana jalan macet, namun saat dirinya akan lewat, dengan pengawalan Rakyat yang notabene adalah MAJIKAN, dipaksa untuk minggir dan tak peduli lampu merah dipersimpangan jalan pun mereka terjang. Belum lagi pemandangan yang mengenaskan warisan Orde Baru terus berlanjut, dimana Supir, Ajudan dan bahkan Pengawal yang hidupnya dibiayai dengan Pajak Rakyat menunggu Petinggi Penyelenggara bukan lambang negara main Golf dan bahkan biaya tiket masuk lapangan Golf pun menggunakan dana APBN.
Anehnya kenikmatan yang semacam itu tidak dianggap hal mendasar yang harus dihindari oleh setiap Penyelenggara Negara, sebagaimana yang dicontohkan para PELAYAN RAKYAT pada semua negara demokrasi.
Solusi Yang Bisa Ditempuh.
Sudah barang tentu, karena keadaan yang hendak diubah mengkait kejiwaan bangsa yang sudah membudaya, dan agar kedepan tidak ada lagi Rakyat yang jadi korban dalam proses perubahan dan agar tidak ada lagi dendam baru, maka kedepan kita tidak perlu melakukan “potong generasi” sebagaimana yang dilaksanakan oleh Suharto. Namun cukuplah dengan upaya terukur untuk menyudahi pasungan paham invalid tersebut, dalam bentuk Pembangunan Karakter Bangsa pada generasi muda dengan:
Pertama. Menyusun ulang sejarah kemerdekaan yang sepenuhnya didasarkan pada fakta yang membarengi berdirinya NKRI. Untuk itu sejarah harus kita luruskan, dengan tidak lagi menempatkan bahwa “kemerdekaan kita didapat merebut”. Selanjutnya diganti dengan menempatkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai “kontrak Sosial” berdirinya NKRI.Kedua. Sementara itu untuk jajaran birokrasi pemerintahan negara, kedepan diperlukan Program Revolusi Mental dalam arti TERUKUR untuk mengubah cara pandang Penyelenggara Negara yang menempatkan dirinya sebagai PELAYAN RAKYAT. Dan sebaliknya mereka harus menempatkan Rakyat sebagai MAJIKAN.
Adapun upaya untuk mengakhiri belenggu residu masa lalu berupa paham invalid lainnya, seperti paham “Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dalam prakteknya bergeser menjadi “Negara Berdasarkan Agama” dan bobroknya moral sebagian besar elit bangsa akan dibahas tersendiri dalam tulisan serial berikutnya.
Dirgahayu NKRI pada HUT nya yang ke 79 tanggal 17 Agustus 2024.
[]