NUH-I dan Anggota DPRD DKI Tolak Pembatasan Waktu Sewa Rusunawa, Sebut Kebijakan Ini Memperburuk Krisis Perumahan di Jakarta

Ilustrasi salahsatu Rusun

FaktaNews.Net |  Jakarta – Kebijakan pembatasan waktu tinggal di rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang diusulkan dalam revisi Peraturan Gubernur (Pergub) 111 Tahun 2014 menimbulkan kontroversi. Nusantara Urban Housing Initiative (NUH-I) bersama sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta menolak keras rencana tersebut karena dinilai tidak adil dan berpotensi memperburuk masalah sosial di ibu kota, terutama dalam hal krisis perumahan.

Ketua Umum NUH-I, Hidayat, dalam keterangan persnya (9/02/2025), menegaskan bahwa kebijakan pembatasan waktu tinggal di rusunawa bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan perumahan yang tengah dihadapi masyarakat Jakarta. Menurutnya, inti masalah yang harus segera diselesaikan adalah minimnya akses terhadap hunian yang terjangkau, bukan lamanya waktu tinggal di rusunawa.

“Masalah perumahan di Jakarta bukan pada lamanya tinggal di rusunawa, tetapi pada terbatasnya pilihan hunian yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Jika pembatasan ini diterapkan tanpa adanya solusi alternatif, kita justru akan menghadapi dampak buruk, seperti meningkatnya jumlah tunawisma dan berkembangnya pemukiman kumuh,” tegas Hidayat.

Menurut NUH-I, rusunawa selama ini telah menjadi solusi bagi banyak kalangan, termasuk buruh, pekerja informal, lansia, dan keluarga dengan anak-anak, yang kesulitan mencari tempat tinggal tetap karena keterbatasan ekonomi. Pembatasan waktu tinggal yang diusulkan justru akan semakin mempersulit kondisi mereka yang belum memiliki kestabilan finansial untuk berpindah ke hunian lain dalam waktu singkat.

Dampak Negatif Pembatasan Waktu Sewa Rusunawa

NUH-I menyoroti beberapa potensi dampak negatif dari kebijakan pembatasan waktu tinggal di rusunawa, antara lain:

1. Meningkatkan Jumlah Tunawisma dan Pemukiman Kumuh
Pembatasan waktu tinggal tanpa solusi perumahan alternatif akan membuat banyak penghuni rusunawa kehilangan tempat tinggal, yang berpotensi meningkatkan jumlah tunawisma dan memperburuk kondisi pemukiman kumuh di Jakarta.

2. Tidak Menyelesaikan Krisis Perumahan
Pembatasan ini tidak akan menyelesaikan masalah utama, yakni minimnya akses hunian yang terjangkau bagi masyarakat. Kebijakan ini justru mengalihkan perhatian dari solusi jangka panjang yang lebih efektif.

3. Mengganggu Stabilitas Sosial dan Ekonomi Warga
Perpindahan paksa dari rusunawa akan berdampak negatif pada stabilitas sosial, terutama bagi anak-anak dan lansia, yang akan menghadapi gangguan psikologis. Selain itu, banyak penghuni rusunawa yang bekerja di sekitar kawasan tersebut, sehingga mereka berisiko kehilangan akses ke tempat kerja mereka.

 

Senada dengan NUH-I, Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, Ida Mahmudah, juga menentang keras kebijakan ini. Dalam wawancara dengan Antara (09/02), Ida menegaskan bahwa kebijakan pembatasan waktu sewa rusunawa sangat tidak realistis.

“Saya minta Dinas Perumahan segera menghentikan rencana kebijakan ini. Tidak ada jaminan bahwa setelah enam tahun, penghuni rusunawa akan memiliki kemampuan finansial untuk membeli rumah sendiri,” tegas Ida. Dia juga mengkritik Kepala Dinas PRKP DKI Jakarta, Kelik Indriyanto, yang menurutnya mengeluarkan pernyataan tanpa kajian yang matang.

Ida juga mengungkapkan bahwa banyak penghuni rusunawa yang saat ini masih kesulitan membayar sewa, dengan tunggakan sewa rusunawa mencapai Rp95,5 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian sebagian besar penghuni rusunawa belum stabil, sehingga kebijakan pembatasan waktu sewa justru akan memperburuk keadaan mereka.

Solusi Alternatif dari NUH-I

Sebagai respon terhadap kebijakan ini, NUH-I mengajukan beberapa solusi yang dianggap lebih manusiawi dan realistis, di antaranya:

1. Mencabut Rencana Pembatasan Waktu Tinggal di Rusunawa
NUH-I meminta agar rencana pembatasan waktu tinggal di rusunawa dibatalkan, karena tidak menyelesaikan akar masalah perumahan di Jakarta.

2. Mengembangkan Skema Kepemilikan Rumah Terjangkau
NUH-I mengusulkan agar pemerintah lebih fokus pada pengembangan skema kepemilikan rumah yang dapat dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah.

3. Dialog Antara Pemerintah dan Warga
NUH-I mendesak agar ada dialog lebih lanjut antara pemerintah dan warga untuk mencari solusi yang adil dan berpihak pada kepentingan masyarakat kecil.

4. Meninjau Kembali Kebijakan Perumahan
Pemerintah diharapkan untuk meninjau kebijakan perumahan yang ada, tidak hanya dari sisi administratif, tetapi juga mempertimbangkan kebutuhan riil rakyat.

 

NUH-I Siap Lakukan Aksi Advokasi

Jika kebijakan ini tetap dilaksanakan, NUH-I mengancam akan melakukan berbagai langkah advokasi, termasuk aksi massa dan upaya hukum. “Kami tidak akan tinggal diam melihat ribuan warga kehilangan tempat tinggal. Jika suara kami tidak didengar, kami siap melakukan aksi hukum dan unjuk rasa untuk memperjuangkan hak warga,” ujar Deden Chandra, Sekretaris Jenderal NUH-I.

NUH-I juga mengajak seluruh warga rusunawa dan masyarakat sipil untuk bersatu menolak kebijakan ini. Mereka berharap pemerintah berpihak kepada rakyat kecil dan mencari solusi yang lebih manusiawi dalam menangani masalah perumahan di Jakarta.

(Sha)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *